ILMUAN DAN TANGGUNG JAWABNYA TERHADAP ILMU



A.    Definisi Ilmuwan 
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia hal. 325, Ilmuwan adalah :
a)      orang yang ahli,
b)       orang yang banyak pengetahuan mengetahui suatu ilmu,
c)       orang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan
d)      orang yang bekerja dan mendalami ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh[1].
Menurut Webster Dictionary, Ilmuwan ( Sciantist ) adalah seorang yang terlibat dalam kegiatan sistematis untuk memperoleh pengetahuan ( ilmu )
Ensiklopedia Islam mengartikan ilmuwan sebagai orang yang ahli dan banyak pengetahuannya dalam suatu atau beberapa bidang ilmu.[2]
Secara terminologi, Ilmuwan ialah orang yang bekerja dan mendalami ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh[3]. Sedangkan secara etimologi, ilmuwan diartikan sebagai seorang ulama. Secara bahasa, ulama berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun berarti orang yang mengetahui (mufrad/singular) dan ulama (jamak taksir/irregular plural).
Ilmuwan memiliki beberapa ciri yang ditunjukkan oleh cara berfikir yang dianut serta dalam perilaku seorang ilmuwan. Mereka memilih bidang keilmuan sebagai profesi. Untuk itu yang bersangkutan harus tunduk dibawah wibawa ilmu. Karena ilmu merupakan alat yang paling mampu dalam mencari dan mengetahui kebenaran. Seorang ilmuwan tampaknya tidak cukup hanya memiliki daya kritis tinggi atau pun pragmatis, kejujuran, jiwa terbuka dan tekad besar dalam mencari atau menunjukkan kebenaran pada akhirnya, netral, tetapi lebih dari semua itu ialah penghayatan terhadap etika serta moral ilmu dimana manusia dan kehidupan itu harus menjadi pilihan juga sekaligus junjungan utama. Oleh karena itu seorang ilmuwan harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya :
1)      Prosedur ilmiah
2)      Metode ilmiah
3)      Adanya suatu gelar yang berdasarkan pendidikan formal yang ditempuh
4)      Kejujuran ilmuwan, yakni suatu kemauan yang besar, ketertarikan pada perkembangan Ilmu Pengetahuan terbaru dalam rangka profesionalitas keilmuannya.
Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran. Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah :
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama” (Qs.Fathir 28).
            Merujuk dari Nash yang jelas tentang lafadz al Ulama dalam al Quran di atas adalah hamba Allah yang takut melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintahNya dikarenakan dengan ilmunya ia sangat mengenal keagungan Allah. Ia bertahuid (mengesakan) Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat. Mereka sangat berhati-hati dalam ucapan dan tindakan karena memiliki sifat wara, khowasy dan ’arif[4].
            Kata al Ulama’ bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukan di lembaga bentukan pemerintahan dengan subsidi dana. Namun kosa kata al Ulama berasal dari Kalamullah dan memiliki arti dan kedudukan sangat terhormat disisi Rabb. Oleh karena itu, termasuk perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami adalah manzilah (kedudukan) ahlul ilmi yang mulia di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.      Sehingga kita bisa beradab terhadap mereka, menghargai mereka dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Itulah tanda barakahnya ilmu dan rasa syukur kita dengan masih banyaknya para ulama di zaman ini.
B.     Kedudukan Ilmuwan atau Ulama
1)      Orang yang berkedudukan tinggi di sisi Allah.
            Hal ini sebagaimana penegasan sekaligus janji Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Ulama’ dalam firmannya yaitu QS. al Mujaddalah Ayat 11, artinya:
            “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat ahlul ilmi dan ahlul iman beberapa derajat, sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan kepada mereka (berupa ilmu dan iman).”[5]
2)      Orang Yang paling khasyyah/ Taqwa kepada Allah.
Sebagaimana dalam Q.S Fathir: 28 Allah memuji Ulama dengan firmannya yang berbunyi:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)
            Dapat ditarik kesimpulan bahwa Rasulullah memberikan gambaran akan kedudukan ulama’ sebagai pewarisnya yakni dalam hal khasyyahnya kepada Allah.
3)      Orang yang paling peduli terhadap umat.
Firman Allah:
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 110)
            Dalam Ayat ini sangat jelas kedudukan Ulama, sebagai Orang yang Sangat peduli Pada Umat, Karena Di dunia ini tiada Orang yang sangat getol mengumandangkan ‘Amar Ma’rur dan Nahi Mungkar selain para Ulama’.
            Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullahu berkata  “Para Ulama itu lebih belas kasihan terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.” Ditanyakan kepadanya: “Bagaimana demikian?” Dia menjawab: “Bapak-bapak dan ibu-ibu mereka menjaga mereka dari api di dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api di akhirat.”[6]
4)      Ulama’ adalah rujukan umat dan pembimbing mereka ke jalan yang benar.
            Allah SWT berfirman, artinya: “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. al-Anbiya’: 7)
            Ini adalah pelajaran adab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya tentang sikap dan perbuatan mereka yang tidak pantas. Seharusnya, apabila datang kepada mereka berita penting yang terkait dengan kepentingan umat, seperti berita keamanan dan hal-hal yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau berita yang mengkhawatirkan/ menakutkan, yang di dalamnya ada musibah yang menimpa sebagian mereka, hendaknya mereka memperjelas terlebih dahulu akan kebenarannya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya.
Namun hendaknya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (semasa beliau masih hidup) dan kepada ulil amri, yaitu orang yang ahli berpendapat, ahli nasihat, yang berakal (para ulama). Mereka adalah orang-orang yang paham terhadap berbagai permasalahan dan memahami sisi-sisi kebaikannya bagi umat, sekaligus mengetahui hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka. Apabila mereka melihat sisi kebaikan, motivasi yang baik bagi orang-orang yang beriman dan menggembirakan mereka bila berita tersebut disebarkan, atau akan menumbuhkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, tentu mereka akan menyebarkannya (atau memerintahkan untuk menyebarkan).Apabila mereka melihat (disebarkannya berita tersebut) tidak mengandung kebaikan, atau dampak negatifnya lebih besar, maka mereka tidak akan menyebarkannya.
            Selain Kedudukan Ulama sebagaimana penjelasan ayat dan hadis di atas, kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat, merupakan permasalahan yang menjadi bagian dari agama. Mereka adalah orang-orang yang menjadi penyambung umat dengan Rabbnya, agama dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka adalah sederetan orang yang akan menuntun umat kepada cinta dan ridha Allah, menuju jalan yang dirahmati yaitu jalan yang lurus. Oleh karena itu, ketika seseorang melepaskan diri dari mereka berarti dia telah melepaskan dan memutuskan tali yang kokoh dengan Rabbnya, agama dan Rasul-Nya. Ini semua merupakan malapetaka yang dahsyat yang akan menimpa individu ataupun sekelompok orang Islam. Berarti siapapun atau kelompok mapapun yang mengesampingkan ulama pasti akan tersesat jalannya dan akan binasa.Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam muqaddimah kitab Akhlaq Al-Ulama mengatakan[7]:
            Para ulama adalah lentera hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala, lambang sebuah negara, lambang kekokohan umat, sumber ilmu dan hikmah, serta mereka adalah musuh syaithan. Dengan ulama akan menjadikan hidupnya hati para ahli haq dan matinya hati para penyeleweng. Keberadaan mereka di muka bumi bagaikan bintang-bintang di langit yang akan bisa menerangi dan dipakai untuk menunjuki jalan dalam kegelapan di daratan dan di lautan. Ketika bintang-bintang itu redup (tidak muncul), mereka (umat) kebingungan. Dan bila muncul, mereka (bisa) melihat jalan dalam kegelapan.
            Dari ucapan Al-Imam Al-Ajurri di atas jelas bagaimana kedudukan ulama dalam agama dan butuhnya umat kepada mereka serta betapa besar bahayanya meninggalkan mereka, Orang yang paling peduli terhadap umat.
           Niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS. al Mujadalah: 11)[8], artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
C.    Tanggung Jawab Seorang Ilmuan
Tanggung jawab ilmuwan dalam pengembangan ilmu sekurang-kurangnya berdimensi religious atau etis dan social. Pada intinya, dimensi religious atau etis seorang ilmuwan hendaknya tidak melanggar kepatutan yang dituntut darinya berdasarkan etika umum dan etika keilmuan yang ditekuninya. Sedangkan dimensi sosial pengembangan ilmu mewajibkan ilmuwan berlaku jujur, mengakui keterbatasannya bahkan kegagalannya, mengakui temuan orang lain, menjalani prosedur ilmiah tertentu yang sudah disepakati dalam dunia keilmuan atau mengkomunikasikan hal baru dengan para sejawatnya atau kajian pustaka yang sudah ada untuk mendapatkan konfirmasi, menjelaskan hasil-hasil temuannya secara terbuka dan sebenar-benarnya sehingga dapat dimengerti orang lain sebagaimana ia juga memperoleh bahan-bahan dari orang lain guna mendukung teori-teori yang dikembangkannya. Karena tanggung jawab ilmuwan merupakan ikhtiar mulia sehingga seorang ilmuwan tidak mudah tergoda, apalagi tergelincir untuk menyalahgunakan ilmu. Seperti kata pepatah:“ Ilmu Pengetahuan tanpa Agama lumpuh dan Agama tanpa Ilmu Pengetahuan Buta “
a.       Tanggung Jawab Seorang Ilmuan Dalam Perspektif Agama Islam[9] 
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa seorang ilmuwan muslim mempunyai tanggung jawab, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas ilmu yang dimilikinya. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الأَسْلَمِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ» (رواه الترمذي، وقال : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ [2417]
            Dari Abu Barzah Al-Aslami, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tidak bergeser kedua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ia ditanya tentang umurnya; dalam hal apa ia menghabiskannya,  tentang ilmunya; dalam hal apa ia berbuat, tentang hartanya; dari mana ia mendapatkannya dan dalam hal apa ia membelanjakannya, dan tentang pisiknya; dalam hal apa ia mempergunakannya”. (HR At-Tirmidzi, dan ia berkata: “Ini hadits hasan shahih”, hadits no. 2417).
            Bagaimana cara mempertanggungjawabkan ilmu? DR. Yususf Al-Qaradawi menjelaskan ada tujuh sisi tanggung jawab seorang ilmuwan muslim, yaitu:

1.      مَسْؤُوْلٌ عَنْ صِيَانَتِهِ وَحِفْظِهِ حَتَّى يَبْقَى
2.      وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ تَعْمِيْقِهِ وَتَحْقِيْقِهِ حَتَّى يَرْقَى
3.      وَمَسْؤُوْلٌ عَنِ الْعَمَلِ بِهِ حَتَّى يُثْمِر
4.      وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ تَعْلِيْمِهِ لِمَنْ يَطْلُبُهُ حَتَّى يَزْكُوَ
5.      وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ بَثِّهِ وَنَشْرِهِ حَتَّى يَعُمَّ نَفْعُهُ
6.      وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ إِعْدَادِ مَنْ يَرِثُهُ وَيَحْمِلُهُ حَتَّى يَدُوْمَ اِتِّصَالُ حَلَقَاتِهِ، وَقَبْلَ ذَلِكَ كُلِّهِ:
7.      مَسْؤُوْلٌ عَنْ إِخْلَاصِهِ فِيْ عِلْمِهِ للهِ حَتَّى يَقْبَلَهُ مِنْهُ.


1.    Bertanggung jawab dalam hal memelihara dan menjaga ilmu, agar ilmu tetap ada (tidak hilang),
2.    Bertanggung jawab dalam hal memperdalam dan meraih hakekatnya, agar ilmu itu menjadi meningkat,
3.    Bertanggung jawab dalam mengamalkannya, agar ilmu itu berbuah,
4.    Bertanggung jawab dalam mengajarkannya kepada orang yang mencarinya, agar ilmu itu menjadi bersih (terbayar zakatnya),
5.    Bertanggung jawab dalam menyebarluaskan dan mempublikasikannya agar manfaat ilmu itu semakin luas,
6.    Bertanggung jawab dalam menyiapkan generasi yang akan mewarisi dan memikulkan agar mata rantai ilmu tidak terputus, lalu, terutama, bahkan pertama sekali
7.    Bertanggung jawab dalam mengikhlaskan ilmunya untuk Allah SWT semata, agar ilmu itu diterima oleh Allah SWT.
b.      Tanggung Jawab Seorang Ilmuwan Dalam perspektif selain Islam[10]
            Sejatinya ilmu pengetahuan digunakan untuk mempermudah kegiatan manusia dalam melakukan aktifitas dan kegiatannya. Ilmu penegatahuan merupakan produk dari kebudayaan enlightenment, pencerahan. Ilmu penetahuan digunakan sebagai sarana mempermudah manusia mencapai dan mendapatkan tujuan hidupnya. Selain itu, ilmu pengetahuan juga berfungsi sebagai fasilitator. Fasilitator yang berupa sandaran untuk melakukan sesuatu.
Karena ilmu pengetahuan adalah jembatan bagi manusia untuk mempermudah mendapatkan keinginannya dan manusia dapat berbuat banyak. Segala kegiatan ada konsekuensinya, begitu juga dengan kegiatan dalam perkembangan ilmu pengetahun ini. Karena sekarang, kita harus menyasuaikan diri dengan kemajuan ilmu, bukan ilmu yang berkembang seiring perkembangan manusia. Ilmu pengetahuan banyak melupakan faktor manusia. Selain menimbulkan gejala dehumanisme juga mengubah hakikat kemanusiaan. Karena itulah peran dari para ilmuan dalam menyikapi hal ini sangat dibutuhkan.
            Peran ilmuwan itu antara lain, mereka harus peka terhadap perubahan sosial dan berupaya mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Mereka juga bertanggung jawab terhadap hasil penelaahan penelitian agar bermanfaaat bagi masyarakat. Teori adanya komunikasi antar warga dapat menjadi acuan untuk menerapakan masyarakat yang bebas juga dapat diterapkan. Seorang ilmuan harus membuka diri pada fakta-fakta baru dan mencoba berusaha memahaminya demi kebahagiaan umat manusia. Meraka juga harus mempunyai rasa iba yang merupakan implikasi dari rasa cinta yaitu berusaha untuk benar-benar memahami penderitaan agar mampu menyembuhkannya.
Ilmuwan harus bisa melibatkan diri, selain dalam proses spesialisasi juga dalam seluruh proses self-understanding masyarakat. Dalam rangka ini ilmuwan harus dapat mengintegrasikan kebudayaan teknik dengan kepribadian kultural. Tanggung jawab yang utama dari seorang ilmuan bagi dirinya sendiri, ilmuwan lain, dan masyarakat adalah menjamin kebenaran dan keterandalan pernyataaan-pernyataan ilmiah yang dibuatanya dan dapat dibuat oleh ilmuwan yang lainnya. Sebagai seorang yang dianggap lebih oleh masyarakat bahkan ilmuwan lain tidak boleh memberikan atau memalsukan data. Mereka hanya memberikan pengetahuan sumbangan pengetahuan baru yang benar yang sudah ada walaupun ada banyak tekanan untuk tidak melakukan itu, karena tanggung jawab batiniahnya adalah memerangi ketidaktahuan, prasangka, dan takhayul di kalangan manusia dalam alam semesta ini.
Context of discovery adalah menyangkut dimana ilmu pengetahuan itu ditemukan. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks waktu dan tempat tertentu. Ilmu pengetahuan tidak muncul begitu saja, ada hal yang melahirkannya. Ada perasaan, keinginan, kepentingan pribadi, sosial, budaya, politik yang ikut mewarnai dan mendorong penelitian dan kegiatan ilmiah. Hubungan antara tanggung jawab ilmuwan dan COD ini adalah kadang kala para ilmuwan mengembangkan penetahuannya bukan semata-mata hanya untuk ilmu itu sendiri, tetapi ada hal lain yang menyebabkan adanya ilmu pengetahuan itu. Salah satunya adalah karena keprihatinan para ilmuwan terhadap perkembangan kehidupan manusia. Mereka mengumpulkan masalah yang dihadapi masyarakat dan berupaya untuk mencari solusi dari permasalahan itu. Hal ini terjadi karena pada hakikatnya, ilmu pengetahuan itu berkembang dalam interaksi dan ketertarikan dengan semua nilai dan semua hal lain diluar pengetahuan itu. Karena sadanya kesamaan sosial, perasaan dan lain sebagainya inilah yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan baru yang menyangkut tanggung jawab seorang yang mempunyai ilmu lebih dari yang lainnya.
Context of Justification merupakan konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan alamiah berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Nilai kebenaran adalah yang satu-satunya nilai yang berlaku dan dipertimbangakan. Hubungan antara COJ dengan tanggung jawab ilmuwan adalah, hakikatnya konsekuensi dalam kegiatan penelitian harus mempertimbangkan beberapa hal, antara lain rasionalitas atau berkaitan dengan nilai kebenaran, berkaitan dengan ilmu-ilmu empiris, penilaian hasil kegiatan ilmiah hanya didasarkan pada keberhasilan dan kegagalan empiris. Dilihat dari dua kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memberikan pengetahuan kepada khalayak umum, para ilmuwan harus se-objektif mungkin sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Yang harus menjadi fokus utama dari seorang ilmuwan dalam menetapakan konteks mana yang penting dan harus diperhatikan adalah dengan melihat beberapa aspek dari konsekuensi setiap konteks. Namun yang paling harus diperhatikan oleh ilmuwan adalah context of discovery karena dalam konteks ini, diperhitungkan apakah ilmu itu berguna atau tidak. Sedangkan dalam context of justification, segala kriteria kebenarannya tidak bisa dibantah dan dianggap benar.

D.    Peran dan Fungsi Ilmuwan

a.       Sebagai intektual, seorang ilmuwan sosial dan tetap mempertahankan dialognya yang kontinyu dengan masyarakat sekitar dan suatu keterlibatan yang intensif dan sensitif.
b.      Sebagai ilmuwan, dia akan berusaha memperluas wawasan teoritis dan keterbukaannya kepada kemungkinan dan penemuan baru dalam bidang keahliannya.        
c.       Sebagai teknikus, dia tetap menjaga keterampilannya memakai instrument yang tersedia dalam disiplin yang dikuasainya. Dua peran terakhir memungkinkan dia menjaga martabat ilmunya, sedangkan peran pertama mengharuskannya untuk turut menjaga martabat.




[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal 325
[2] Ensiklopedia Islam. Jilid 2. Hal. 203
[4]. Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan, Kedudukan Ulama’ dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah,
[5]. Mohammad  Jamaluddin, Ulama Pewaris Para Nabi, Minggu, 2007 Okt. 07 In:
[6] Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits, hal. 168
[7]. Ulama ahlus sunnah, Pewaris Para Nabi & Rintangan dalam Menuntut Ilmu, In: http://al-aisar.com
[8]. Software Quran in word
[9]. DPS PKS Banguntapan. Inilah Tanggung Jawab Ilmuwan Islam.
    
http://www.pksbanguntapan.com/2013/02/inilah-tanggungjawab-ilmuan-muslim.html
[10]. Anditaa08’s Blog. Memahami Etika dan Tanggung Jawab Ilmuwan.
       
http://anditaa08.student.ipb.ac.id/memahami-etika-dan-tanggung-jawab-ilmuwan/.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANGGUNG JAWAB ILMUAN TERHADAP KEMAJUAN BANGSA INDONESIA

perbedaan akal, pikiran, dan insting